Murid SMA biasa. Ya, itulah aku. Aku memang baru masuk SMA
Satome tahun ini. Hari pertama dimulai saat musim semi dan sekarang adalah
upacara pembukaan di aula sekolah. “Zora-Chaaaaaannn!!” teriak seseorang sambil
berlari dari kejauhan. “Kimori? Hey,hey berhenti!” teriakku sepontan sebelum
dia menubrukku dan memelukku. Kimori adalah sahabatku saat SD dan sekarang,
kami satu sekolah. “Zora-chan, tahu tidak? Kita di kelas yang sama!” katanya
bersemangat. “Ohya? Baguslah, hehehe,” jawabku sambil sedikit cekikikan.
“Hmmm..aku
harap ada lelaki muda yang tampan di kelas kita”
“Kimori!”
bentakku.
“Hehehe,
maaf maaf. Nah, kita sudah sampai di kelas. Silahkan, nona,” katanya
mempersilahkanku untuk masuk. Kimori memang sahabatku yang paling lucu
sekaligus aneh. Dia bisa berlagak seperti anak kecil, dia bisa berlagak seperti
orang tua, pelayan, atau apapun yang dia mau.
Langkah
pertamaku untuk memasuki kelas 1-3. Murid-murid yang ada di kelas serentak diam
dan melihat kami berdua. Aku spontan langsung memperkenalkan diri “Hijirakawa
Zora, SMP Seijou. Senang bertemu kalian,” kataku agak gugup. Berikutnya, Kimori
memperkenalkan diri “Nanase Kimori, SMP Sakura. Mohon bantuan kalian,” katanya
sambil tersenyum. Setelah itu aku melihat dua orang gadis mendekati kami. “Ya, aku
juga senang bertemu kalian. Aku Mutsuka Aomi,” kata yang berambut agak pirang.
“Kimida Aiko,” kata yang berambut hitam panjang.
Hari
itu lumayan menyenangkan, aku mendapat teman baru, kenalan baru dan lain-lain
yang baru. Tak terasa sekarang sudah sebulan aku di SMA. Aomi, Aiko, Kimori dan
aku sudah menjadi makin dekat, aku merekam semua yang sudah kami lakukan di buku
harianku. Siang itu di sekolah adalah pelajaran olahraga dan aku hanya
duduk-duduk di bawah pohon sambil memandangi sesuatu. “Zora!” panggil Kimori
tiba-tiba. “Ya? Ada apa?” tanyaku dengan polos.
“Tidak. Kenapa kau melamun?”
“Aku bosan”
“Oh, baiklah. Aku pergi dulu, ya.
Mau ke kemar mandi, nih”
“Iya, aku akan menunggu di sini”
Sembari menunggu Kimori, aku memperhatikan anak-anak yang
sedang bermain futsal di lapangan, ya bisa juga dikatakan setengah melamun.
Dalam lamunanku, tiba-tiba seorang anak lelaki yang bermain futsal itu
memandangku dan aku memandanginya balik. Aku terdiam. Anak itu hanya tersenyum
padaku, kemudian kembali menggiring bola. Kukedipkan mataku beberapa kali untuk
menyadarkanku. “Ada apa dengan anak itu?” pikirku. Beberapa menit kemudian,
Kimori kembali bersama Aomi dan Aiko. “Zora,” sapa mereka bertiga serempak.
“Hai. Hehehe..” jawabku.
“Zora-chan,
aku ingin Tanya sesuatu,” kata Aomi
“Apa?”
jawabku
“Apa
kau pernah memiliki hubungan khusus dengan anak laki-laki?”
“Bisakah
kau menggunakan bahasa yang lebih sederhana?” tanyaku menggerutu
“Maksudku,
kamu pernah pacaran, tidak?”
“Tidak,”
jawabku polos.
“Kalau
menyukai seseorang?” Tanya Aiko.
“Tidak
juga,” jawabku.
Kami berempat termenung sejenak, sampai satu dari bola
futsal melayang ke kepalaku. “Aduh!” kataku spontan. Dalam keadaan masih
terngiang-ngiang, aku melihat sosok lelaki datang menghampiriku. “Kau tidak apa-apa,
Hijirakawa-san?” tanyanya. “Ya, bisa jadi,” jawabku. “Kau yakin,” tanyanya
lagi. Aku yang baru sadar akan siapa yang ada di depanku dan aku langsung
bertanya, “Kau siapa?” terlihat ekspresi kaget dan heran di muka lelaki muda
itu. “Aku Yokohama Dante, teman sekelasmu. Kau lupa?” katanya. “Oh, maaf,”
kataku polos. Lelaki berkaca mata itu hanya tersenyum manis, kemudian
meninggalkanku dan mengambil bola yang telah melayang ke kepalaku itu. Aku
hanya terdiam melihat kejadian itu. “Zora?” panggil Kimori.
“Y-ya?”
“Tidak
apa-apa? Kau melamun? Lagi?”
“Tidak”
Kimori sepertinya telah membaca apa yang sedang terjadi.
“Aku tahu. Hehehe..” katanya sambil cekikikan. “Apa?” tanyaku polos. “Kau
menyukainya, kan?” – “Siapa” – “Itu tuh..” katanya sambil menunjuk Dante.
“Tidak dan tolong, jangan tunjuk-tunjuk,” kataku berusaha menutupi perasaanku. “yasudah,”
kata Kimori lagi.
Hari
itu pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Entah
mengapa rasanya ada yang aneh saat aku memandang Yokohama-san. Keingintahuanku
akan dia mungkin bisa menyebabkan celaka, tapi aku akan tetap mencobanya.
“Dear Diary, 11
Agustus 2013
Hari
ini ada sesuatu yang spesial, teman sekelasku, Yokohama Dante. Entah mengapa
tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang berbeda darinya. Dia benar-benar WOW,
perasaanku selalu menjadi aneh saat aku mengingatnya. Apa aku punya perasaan
padanya? Jika ya, aku harap perasaanku bisa tersampaikan. Meski Aku tak tahu,
apa maksudnya semua ini. Aku sebenarnya
tak ingin siapapun mengetahui kebenaran ini. Termasuk Kimori, Aomi, dan Aiko.
Aku akan merahasiakannya!”
Malam itu aku langsung tidur dengan semua bayangan-bayangan
tidak karuan tentang Yokohama-san. Entahlah. Aku tak yakin apa ini, tapi hal
ini sangat membuatku bahagia. Aku diam-diam sering memperhatikan Yokohama-san,
setiap derak deriknya. Ini memang aneh.
Beberapa
minggu telah berlalu dan kurasa, aku dan Yokohama-san mulai dekat. Tiap-tiap
hari kita lewati, namun sayang, keinginanku masih belum terkabul. Kupikir
Yokohama-san hanya menganggapku sebagai sahabat dan mungkin adik perempuannya.
Hari
itu adalah hari ke sekian pada bulan September. Aku berjalan seperti biasa ke
sekolah, sampai tiba-tiba;
“Zoraaaa!!”
“Kimori?”
“Hehehe..kenapa kau tadi
meninggalkanku?”
“Maaf, tidak bermaksud. Habis tadi
aku takut telat”
“Oh, hey! Itu Aomi dan Aiko!
Aomiii! Aikooo!”
Kimori berlari mendahuluiku dan akupun tak mau kalah.
Kukejar Kimori secepat yang kubisa. “Hai, semua!” Sapa Aiko. “Hey,hey, aku
punya berita menarik!” kata Aomi.
“Apa?” tanyaku polos
“Yokohama Dante!”
“Kenapa?” tanyaku lagi-lagi polos
“Yokohama Dante diam-diam menyukai
Aiko!”
“APA??!”
“Hahaha..tapi Aiko kan masih dekat
sama mantan pacarnya, Yoroshi-san” sahut Kimori
“Aah, sudah-sudah,” kata Aiko kesal
“Tapi memang benar,kan?” lanjut
Kimori
“Ya ya..terserah saja,” jawab Aiko
tambah kesal
Aku tak bisa melakukan apa-apa. Kenapa bisa berakhir begini?
Kenapa harus..Yokohama-san? Aku hanya bisa tersenyum seakan-akan ikut senang
saat itu.
Waktu
istirahat, aku bertekad untuk menemui Yokohama-san dan menanyakan kebenaran
yang terjadi.
“Yokohama-san?
Apa kau sibuk?”
“Tidak.
Jangan panggil aku Yokohama-san. Dante saja sudah cukup,” katanya sambil
tersenyum
Aku selalu tak bisa menahan diriku dari senyumannya.
Biasanya, aku merasa berbunga-bunga saat dia tersenyum padaku, tapi mengapa
sekarang hatiku merasa sakit? Aku ingin sekali menangis, tapi yang kulakukan hanyalah
termenung di hadapannya.
“Zora?”
“O-oh..ya?”
“Ada
yang ingin kau bicarakan?”
“Hmm..apa,
ya. Ah, lupakan. Aku sudah lupa,kok..hehe,” kataku sembari meninggalkannya. Aku
benar-benar entahlah apa yang harus kulakukan. Jika Dante benar-benar menyukai
Aiko..
“Dear
Diary, 29
September 2013
Aku
tak tau harus bagaimana. Yokohama Dante, ternyata dia menyukai sahabatku
sendiri. Apakah aku harus melepaskannya?”
Malam itu aku hanya menghabiskan waktuku untuk memikirkan
semua hal hari ini. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menyatakan
perasaanku padanya sebelum Aiko? Tapi kalau Dante benar-benar menyukai Aiko,
pasti aku akan ditolak. Aku hanya bisa diam. Aku tak bisa menyalahkan
siapa-siapa.
Keesokan
harinya, dengan lesu aku pergi ke sekolah. Aku tak ingin siapapun mendekatiku.
Aku memang berangkat lebih pagi waktu itu. Aku sedang tak ingin bertemu
siapapun termasuk ketiga sahabatku. Kelas masih kosong saat itu. Hanya aku
seorang. Aku mencoba memikirkan lagi tentang Dante. “Ah, biarlah. Yang penting
kan Dante bisa senang, aku tidak masalah,kok,” gumamku sambil tersenyum
menghibur diri.
“Dear
Diary, 30
September 2013
Akhirnya
aku bisa memutuskan apa yang bisa kulakukan. Aku..aku janji akan melepas Dante.
Aku akan berhenti menyukainya. Aku mungkin tahu bahwa Aiko bukanlah orang yang
pantas untuknya. Lagi pula, Aiko juga masih ada rasa suka pada mantannya, tapi
biarlah. Dante senang kan kalau bisa sama Aiko. Kalau Dante senang, maka aku
senang :)”
Aku tak tahu akan keputusan yang kubuat. Tapi aku akan
melepas Dante. Aku hanya ingin orang yang kusayang bahagia.
Beberapa
minggu telah berlalu dan sekarang sudah bulan Oktober. Tanggal 12 sepulang
sekolah tepatnya. Di kelas hanya tersisa tiga orang, aku, Aiko dan Dante. Aku
dan Aiko sedang mengobrol, tiba-tiba Dante datang, “Boleh pinjam Kimida-san
sebentar?” tanyanya padaku. Aku menganggukkan kepala dengan polos. “Kalau
begitu, aku duluan, ya,” Kataku sambil mengemasi barangku dan keluar kelas.
Tetapi, masih sampai di depan pintu, aku menghentikan langkahku. Aku mendengar
suara Dante dan Aiko.
“Kimida-san,
aku ingin mengatakan sesuatu”
“Apa?”
“Sebenarnya, aku menyukaimu”
Jantungku serasa berhenti sejenak saat itu. Aku ingin
memberhentikan percakapan mereka, namun tiba-tiba aku teringat. ‘Aku..aku janji
akan melepas Dante.’ Kata-kataku sendiri terngiang di telingaku. Alhasil aku
hanya bisa melampiaskan dengan air mata.
“Oh..hehe.
Jadi, bagaimana?”
“Kimida-san,
maukah kau menjadi milikku?”
“Ya.
Dan kau bisa memanggilku Aiko”
Aku mendengar keduanya tertawa kecil. Cepat-cepat aku
berlari ke luar sekolah sembari menghapus air mataku. Aku berlari, terus
berlari. Sampai kakiku sudah terasa berat dan akhirnya tersandung. Aku berhenti
sejenak, mengatur nafas. Terasa sulit saat aku juga menangis.
“Dear
Diary, 12
Oktober 2013
Akhirnya
Dante mengajak Aiko berkencan. Aku tahu, aku tak berhak atas siapapun. Aku..aku
benar-benar tak tau, aku sudah berjanji akan melepas Dante,kan? Tapi mengapa
aku sangat sedih saat mengetahui bahwa mereka berkencan? Kenapa aku merasa
dihianati? Seharusnya, kan aku merasa senang karena sahabatku juga senang.”
Aku tertidur dengan air mata membasahi pipiku. Perasaan
sedih masih berada di sekitarku. Kenapa aku ini?
Tiga
bulan hampir berlalu sejak Dante dan Aiko berkencan. Sekarang adalah liburan
Natal. Berhubung aku tidak ada kegiatan, aku iseng mengirim pesan singkat ke
teman-temanku sembari membuka social mediaku. Aku terkejut saat membaca kiriman
dari Dante
“Terimakasih untuk beberapa bulan
ini karena kamu sudah mau menemaniku :)”
Apa maksudnya? Memang beberapa hari ini Dante terlihat
sedih, entah mengapa dan Aiko terlihat tidak peduli padanya. Aku berpikir
sejenak. Apa mungkin… Cepat-cepat aku mengirim pesan pendek pada Dante.
“Dante? Bagaimana hubunganmu dengan
Aiko? Aku lihat beberapa hari ini dia tidak mempedulikanmu.”
“Kami bukan pasangan lagi”
“Apa? Sejak kapan?”
“kemarin sebelum liburan natal”
Entah mengapa, tapi aku merasa senang sekali. Aku mungkin
bukan sahabat yang baik untuk Aiko, tapi aku sendiri tak mengarti perasaanku.
Sejak
saat itu, aku dan Dante mulai dekat lagi, meskipun terkadang aku masih saja
bersikap dingin padanya. Namun, kali ini aku tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan keduaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk peduli padanya. Sering,
aku mengirimi Dante pesan pendek, keisenganku saja. Aku juga menyusun strategi
agar aku bisa selalu dekat degannya. Mulai dari pembagian kelompok di kelas,
acara sekolahan, sampai jadwal-jadwalku kuatur demi Dante.
Hari
itu, 8 Januari 2014, adalah hari ulang tahunnya Dante. Pagi-pagi aku sudah datang di sekolah hanya untuk bertemu
dengannya. Lama aku menunggu sampai Dante tiba-tiba masuk.
“Danteeee!!
Happy Birthday!!” kataku
“Eh?
Kamu tau hari ini hari ulang tahunku, ya? Bagaimana kau bisa?” tanyanya heran
“Hehehe,
kau tak kan tau apa yang orang lain lakukan,” jawabku sambil tersenyum padanya.
Hari itu sangat menyenangkan. Aku bahkan dapat kesempatan
untuk duduk sebangku dengan Dante. Rasanya seperti di dunia mimpi. Aku sangat
senang
Akhirnya
bel pulang sekolah berbunyi dan sudah waktunya aku dan Dante berpisah. Hmm..padahal
aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Entah mengapa, saat aku
menghabiskan waktu bersamanya, aku merasa senang.
“Dante,
aku duluan, ya?” kataku sebelum meninggalkan kelas
“Tunggu,
aku akan mengantarmu,” katanya
“Baiklah,”
kataku sambil berusaha menyembunyikan wajahku
Aku hanya diam saat kami berjalan berdua. Aku lihat Dante
hanya tersenyum kecil pada beberapa orang di jalan yang melihat kea rah kami.
Sesampainya di depan rumahku, Dante mengatakan sesuatu padaku
“Sudah
sampai, nih. Aku pulang dulu, ya?”
“Eh..nggak
mampir? Aku punya kue,lho,” kataku
“Lain
waktu saja, ya. Sudah sore nih. Oh iya, omong-omong makasih ya”
“buat
apa?” tanyaku polos.
Tanpa diduga, Dante melangkah maju mendekatiku. Aku spontan
langsung mundur sampai punggungku terkantuk pada tembok pagar. “Ada apa? Kau
takut?” Tanya Dante. Aku hanya diam saja. “Baiklah. Terimakasih sudah ingat
sama ulang tahunku. Kamu orang pertama yang memberiku ucapan di sekolah tadi,”
Aku tetap diam dan memandangi mata Dante. Dante hanya tersenyum dan menundukkan
tubuhnya untuk memandangku lebih jelas. Tiba-tiba, hal yang tak pernah kuduga,
Dante mencium pipiku dan mengatakan, “Semoga sisa harimu menyenangkan!” sambil
berjalan menjauhiku. Aku terpaku di sana. Perasaan senang bercampur canggung,
gugup dan malu menjadi satu.
“Dear Diary 8
Januari 2014
Hari ini adalah hari ulang tahun Dante! Meski aku tidak
bias memberinya hadiah apa apa -_- Tapi, sepertinya Dante senang sekali kuberi
ucapan selamat ulang tahun. Hehehe..sampai sampai tadi dia mencium pipiku. Aku
senang sekali. Tapi entah, kenapa perasaanku menjadi aneh dan bercampur aduk”
Malam makin berlarut dan aku masih
bertanya tanya. Apa yang aku rasakan, apa artinya semua ini? Apakah dari dulu
aku masih menyukai Dante? Ya, sepertinya begitu. Aku masih tak bisa
melepaskannya, bahkan tidak untuk sahabatku. Aku tahu aku ingin Dante senang,
tapi bukan dengan orang lain. Ini sangat membingungkan.
26
Januari 2014, hai, ini hanya hari Minggu biasa. Hari ini, aku, Dante,
Miyaku-san, dan Ikoromi-san akan kerja kelompok dan kami berkumpul di rumah Miyaku-san
tepat pukul sebelas. Pagi itu sebelum aku berangkat ke rumah Miyaku-san, Dante
mengirimiku pesan pendek katanya, “Temui aku di pintu masuk perumahan. Aku
menjemputmu,” aku merasa sangat senang, spesial, dan entah, aku tak punya
kata-kata lagi. Hatiku sangat gembira, namun juga, mengingat hari kemarin saat
dia menciumku, entah aku merasa canggung.
Sekarang
pukul sebelas siang dan aku hampir sampai di pintu masuk perumahan Miyaku-san,
tempat di mana Dante menunggu. Kupercepat langkahku menyongsongnya. Aku melihat
sosok pria berdiri di sana. “Dante?” pikirku. Ia mengenakan kemeja berangkap
jaket mantel tebal dan syal di lehernya. Matanya yang berkacamata itu
menatapku. Aku berhenti sejenak, menundukkan muka teringat akan kejadian
kemarin. Aku berjalan perlahan ke arahnya. “Dante?” – “Ya. Ayo, Miyaku-san dan
Ikoromi-san sudah menunggu,” katanya. Aku hanya menganggukan kepala. Suasana
tetap canggung seperti saat pertama kali kami jalan berdua seperti ini.
Pekerjaan
kelompok kami berjalan lancar, sampai sebuah sekring yang digunakan untuk rangkaian itu rusak. “Oh, kurasa aku
akan pergi membeli sekring baru.
Kalian tunggu di sini,ya,” kata Miyaku-san. “Aku mau ikut!” timpal Ikoromi-san.
Akhirnya merekapun pergi. Beberapa saat setelah kepergian mereka, aku baru
sadar, aku sendiri di sini, hanya bersama Dante. Aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan, tapi..
“Zora?”
“Ya?”
“Apa
yang kau lakukan?”
“Eh?
Hanya mencoba membenarkan rangkaian ini. Bagian ini kurang rapi”
“Bukan
begitu, bodoh!” kata Dante sampil memukul kepalaku.
“Bodoh?!
Kau pikir siapa kau?” bentakku emosi.
Dante hanya diam saja. Seketika dia
menarikku ke pangkuannya kemudian memeluk dan menciumku. Hari itu untuk kedua
kalinya ia menciumku, namun kali ini tepat di bibirku. Entah, aku menyukainya saat
ia melakukan itu padaku, tapi aku tahu, aku tak bisa biarkan ini terjadi. Aku
bukan siapa-siapa untuknya! Kudorong tubuh Dante untuk menjauh dariku. Aku
berusaha menyembunyikan wajahku yang jelas-jelas sudah memerah semerah tomat.
“Untuk apa itu?” tanyaku masih emosi. “Ya, aku hanya ingin membuatmu merasa
lebih baik,” jawabnya. “Nonsense,”
kataku sambil mengutak utik rangkaian lagi.
“Dear Diary, 26
Januari 2014
Dante. Sekali lagi dia mencium pipiku. Aku tahu, aku sudah
berjanji beberapa waktu lalu untuk berhenti menyukainya. Namun, entah mengapa
aku benar-benar menihmatinya saat bibir manisnya mengecup bibirku. Aku kan
bukan siapa-siapanya! Lagi pula, aku kan jadi tidak enak, Dante adalah mantan
Aiko dan aku sahabatnya. Entah apa lagi ini. Apa aku harus menyatakan
perasaanku pada Dante?”
Malam itu aku membuat surat pada
Dante. Aku tak ingin dipermalukan meski mungkin itu sebuah bayaran untuk Dante.
Pagi
telah menyongsong. Ya, 27 Januari 2014. Sepulang sekolah, aku memberikan
suratku pada Dante. “Dante, tolong baca ini jika kau sudah di rumah,” kataku
berpesan padanya. “Hm..baiklah. Menarik,” katanya. “Hem..aku duluan, ya. Sampai
besok,” kataku langsung berlari keluar ruang kelas, memakai kembali syalku dan
mengganti sepatu. “Salju masih turun,” pikirku. “Hey! Butuh tumpangan?” tanya
seseorang menepuk pundakku. “Dante?!” kataku hampir berteriak saking kagetnya. “Sepertinya kau tidak bawa payung,” katanya
lagi. “Tidak, aku tidak apa-apa. Lagi pula hujannya tidak deras. Baiklah,
sampai jumpa,” kataku berlari keluar sekolah. Kulihat Dante hanya memandangiku
heran.
“Dear Diary, 27
Januari 2014
Hari ini aku berhasil memberikan suratku pada Dante. Aku
tak tahu apa reaksinya. Tapi, bagaimana dengan Aiko? Aku jadi tidak enak.
Bagaimana pula dengan janjiku saat itu? Semuanya sudah kuingkari. Ya, aku
menghianati semua itu. Apa aku pembohong? Mungkin. Mungkin aku gadis yang
bodoh, aku tak bisa menaklukkan perasaanku sendiri.”
Malam menyongsong, kurasa Dante
sudah membaca suratku. Aku belum siap untuk hari esok. Entah apa yang akan
dikatakan Dante. Apa yang akan dikatakan Aiko juga.
28
Januari 2014, ya ini saatnya. Sepulang sekolah, aku, Kimori, Aomi dan Aiko
masih berada di kelas. Dante juga. Aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya
dan sepertinya gagal. Percakapan sahabat-sahabatku bahkan tidak bisa
mengalihkan perhatianku. Tiba-tiba Dante berdiri dari bangkunya. Aku tersentak
kaget. Dia membalikkan badannya ke arah kami berempat. Spontan, aku menolehkan
kepalaku seakan-akan aku asyik mengobrol dengan tiga sahabatku itu.
“Zora,”
kata Dante
“Ya?”
“Bisa
bicara sebentar?”
Ketiga sahabatku diam sejenak
sampai Kimori berdiri dan mengatakan, “Baiklah, Zora. Kurasa aku mau pulang
duluan. Aku bari ingat tadi ibuku menyuruhku pulang cepat untuk membantunya,”
katanya. “Aku juga. Rumah kita sejalan,kan?” kata Aomi. “Hm..Aku juga!” timpal
Aiko. Kulihat mereka bertiga keluar kelas.
“Zora.
Tentang suratmu kemarin”
“Eh?
Aku..aku Cuma bercanda,kok kemarin,” bodoh! Mengapa kata-kata ini yang keluar?
“Begitukah?
Padahal aku berharap kau serius”
“Eh?”
“Ehem..aku mau
mengakui sesuatu. Aku menyukaimu. Kau orang pertama yang peduli padaku saat
Aiko mencampakkanku. Saat itu aku benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih,
tapi kau berhasil menenangkanku. Terima kasih, ya. Aku sadar kaulah harusnya
orang yang tepat untukku.”
Aku merasa tersentuh akan
pengakuannya. Kini, cintaku terbalaskan. “Dante?” kataku pelan. “Ya, Zora?”
tanpa bicara apa-apa lagi, aku langsung memeluknya dan berkata, “Aku juga
menyukaimu.” Aku merasa lengan Dante memelukku dan membelai kepalaku.
“Zoraa!!
Akhirnya!! Hahahaha!” teriak seseorang
“Ki-Kimori?”
tanyaku kaget.
“Hah!
Aku tau! Selamat!! Hahahaha! Dan bukan hanya aku, tapi Aiko dan Aomi”
“Apa?
Ai-ko?”
“Hehehe, selamat,
ya. Kurasa memang aku tidak bisa bersama dengan Dante. Dan Dante, aku mau minta
maaf, aku sudah membuatmu sedih. Semoga kalian berdua senang,” Kata Aiko
“Tapi Aiko..”
kataku
“Hehehe, aku bukan
orang yang pintar menyembunyikan perasaan. Aku senang kok, lagi pula aku sudah
mendapatkan orang yang benar-benar aku sayang, ya..kau ingat? Mantan pacarku? Yoroshi?
Hehehe..kami menjalin hubungan kembali sejak 11 Januari,” Kata Aiko semangat.
Aku sangat senang hari itu.
Akhirnya penantianku selama lima bulan yang diwarnai sakit dan tawa membuahkan
hasil. Kini cintaku telah terbalas, aku tak bisa meminta lebih dari ini. Aku
sangat senang, ya sangat. I do like and dislike this attraction of heart. Ini
membingungkan, tapi ini membahagiakan.
“Dear
Diary, 28
Januari 2014
Aku telah mengorbankan segalanya. Apa
yang kurasakan selama ini adalah cinta. Yokohama Dante, teman sekelasku yang
membuatku untuk pertama kalinya merasakan cinta. Memang, dulu cintaku tak
dihiraukan olehnya. Dia malah berkencan dengan sahabatku, Aiko. Kau tahu, itu
hal yang menyedihkan bagiku. Dia orang pertama yang membuatku menangis akan
perasaanku. Tapi, dia juga orang pertama yang memberikan kebahagiaan tak
terhingga dalam diriku.
Aku masih ingat. Aku berpura-pura
tidak suka padanya saat ia berkencan dengan Aiko. Namun apadaya, rasa sakit ini
selalu tak tertahankan. Aku selalu ingin menangis saat mengingatnya. Aku tak
mau mengorbankan persahabatanku untuk seseorang. Fajar menyongsong dan aku
selalu tak siap menghadapi hariku. Berat terasa saat aku melihat Dante dan Aiko
berjalan bersama dan bergurau ria. Aku selalu senbunyi, aku lari dari kenyataan
itu.
Mentari
telah berganti, bulan telah menghiasi langit, malam itu sebuah hal yang tak
terduga terjadi. ‘Terimakasih untuk beberapa bulan ini karena kamu sudah mau
menemaniku :)’ pesan itu masih terngiang di telingaku. Semua berakhir meninggalkan
perih. Sebagai sahabat, aku hanya bisa menghibur keduanya. Aku masih tak ingin
merusak semuanya.
Hari itu adalah ulang tahun Dante. Aku adalah orang pertama
yang memberinya ucapan. Sepertinya dia senang sekali. Sepulang sekolah, aku
ingat, dia mengantarkanku pulang. Namun, hal yang tak pernah kuduga saat
mentari pagi, ia berhenti di depanku. Ia terlihat mendekat dan memberikan
ciuman manis di pipiku. Dan hal itu terulang lagi tiga hari yang lalu.
Penungguanku
terlah berakhir manis. Kini, aku memiliki Dante. Aiko juga sudah mendapat yang
dia inginkan, jadi kami tidak punya masalah. Aku tak tahu apa yang orang lain
pikirkan, termasuk Dante. Semuanya penuh dengan kejutan. The first kiss he gave
to me, the feeling he share to me, everything is surprise. Aku hanya menunggu
tiap-tiap keajaiban yang kita buat bersama terjadi, ya kitalah yang membuatnya.
Tak akan ada keajaiban jika kita hanya diam.”
0 komentar:
Posting Komentar